Sabtu, Maret 31, 2018

KAPITALISASI STRESS, BISAKAH KITA LAKUKAN DI TEMPAT KERJA?


 Ubaydillah Anwar, CSC., CPT | SoftSkill Institute |

Ada ungkapan lama yang mengatakan begini: orang lemah dikalahkan oleh derita, orang biasa-biasa beradaptasi dengan derita, orang luar biasa bertransformasi dari derita.

Kalau melihat di kamus, misalnya saja Combridge Dictionary, transformasi berarti melakukan pengolahan optimal sehingga terjadi perubahan total, baik dalam penampilan fisik atau karakter.

Dari padi dijadikah gabah, dari gabah dijadikan beras, dari beras menjadi nasi. Ini semua adalah transformasi alamiyah. Oleh tubuh kita, nasi itu ditransformasi menjadi gizi, nutrisi, dan sisanya dibuang ke toilet/WC (transformasi physiologis).


Tanpa transformasi, misalnya kita menelan gabah langsung, pastinya rusak organ kita. Begitu ada transformasi, gabah itu menjadi gizi buat kita. Stress dan berbagai pengalaman buruk pun bisa kita transformasikan seperti makanan, agar menjadi nutrisi atau gizi atau ada yang perlu dibuang.

Kalau hanya dirasakan, itu sama seperti orang menelan gabah. Bertransformasi berarti melakukan kapitalisasi atau mengambil untung (benefit) dari kejadian yang kita rasakan buruk.

Sama-sama dijajah oleh Jepang dengan akumulasi derita tak terkira, tapi respon bangsa kita berbeda dengan bangsa Korea Selatan. Secara mayoritas, respon kita terbelah menjadi dua, antara viktimisasi (selalu menyalahkan penjajah, blaming) dan adaptasi (masih bersyukur dijajah hanya 3.5 tahun, tidak 150 tahun).

Bangsa Korsel secara mayoritas dan terpimpin melakukan transformasi. Begitu merdeka, pada 15 Agustus 1945, seluruh deritanya dan kebenciannya ditumpahkan ke loyang transformasi agar bisa berkompetisi atau mengalahkan Jepang di bidang industri. Tentu butuh perjuangan dan pengorbanan yang dahsyat: butuh uang, ilmu, tenaga, dan mental. Kini, Korsel termasuk negara maju di bidang industri, sementara kita?

Kembali ke soal kapitalisasi stress, langkah pertamanya adalah menguasai kesadaran untuk menjadikan stress sebagai energi perubahan (energy for change). Tentu harus dibarengi target yang jelas. Artinya, tidak cukup kita hanya menjadi penyembuh (healer), tapi harus juga bertindak sebagai jagoan (warrior).

Yang kedua adalah menentukan jenis keahlian atau ilmu tertentu. Simpel, misalnya jika kita stress karena kurang mampu berkomunikasi, ya harus mendalami ilmu komunikasi. Stress karena beban pekerjaan, ya harus belajar time managament. Dan seterusnya. Intinya, perlu ada audit apa penyebabnya, bukan hanya merasakannya.

Terakhir, agar kapitalisasinya sempurna, energi dan keahlian itu perlu ditumpahkan ke dalam produksi atau kreasi, baik yang visibel atau yang invisibel. Misalnya, membuat kita semakin lihai berkomunikasi dengan siapapun, menemukan produk kreatif tertentu, atau yang lain. Semua orang tahu ini tidak mudah, tapi inilah jalannya.

Intinya, proses penanganan stress yang kita jalani seharusnya dapat menghantarkan kita mendapatkan KOMPETENSI BARU, bukan sematara KONTEMPLASI BARU. Urusan kontemplasi (renungan), memang bangsa kita jagonya. Kalau tidak percaya, cek sekali lagi WA dan FB Anda!***


SHARE THIS

0 komentar:

POSTING TERPOPULER

Iklan